google.com, pub-0824692621451989, DIRECT, f08c47fec0942fa0

cerpen terbaru "Abah dan Laut"

Cerpen terbaru "Abah dan laut"

cerpen terbaru abah dan lautSiang itu begitu terik. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dan daun kelapa yang bergesekan seolah mengalunkan irama biola, membuat suasana yang menyenangkan untuk melepas lelah dengan mimpi sejenak disiang hari. Dari dalam rumah terdengar demburan ombak yang menembak bibir pantai. Disela-sela itu suara batuk abah memadu diantara suara gemuruh ombak. Abah membersihkan pompong kecil kami, yang dijadikan sumber rizky buat keluarga kecil kami.

“Panas bah, naik rumah bah”!
“Kamu saja yang kerumah, abah nanti saja”.
“Tapi bah…”. Ucapan ku terhenti saat abah mengangkat wajahnya yang bisa kuartikan. Aku harus pulang kerumah. Hatiku menciut saat itu. Keinginan ku agar abah istirahat diteriknya matahari tengah hari tidak berhasil. Aku melangkah pulang.Sementara ombak dan pantai masih menemani abah memperbaiki pompong kecil warisan moyang kami.
“Mana Abah mu?”. Tanya mak.
“Masih disana mak”.
“Abah kau tu degel betul, disuruh rehat siang aje susah. Badan abah kau bukannnye sehat, nanti tambah parah makin susah” Omelan mak berkepanjangan
hingga aku pun tertidur di hibur suara gesekan nyiur yang diterpa angin pantai. Aku terbangun disaat aku
mendengar suara abah dan mak berbual-bual dianjungan rumah.

Cerpen remaja"Abah dan laut"

“Kalau tak ada minyak tak usah melaut lagi bang, lagi pun biarlah badan abang sehat dulu”.
“Kalau abang tak kelaut sore ini, tak ada duit lagi untuk kau belanja. Pak cik man sudah menagih hutang kita semalam, Abang segan”
“ Kan tak diminta besok bang, besok saja abang kelaut, biar Atan nanti sore mencari minyak dikampung sebelah”.
“ Tak ape-ape, abang tak kelaut lepas, mudah-mudah minyak cukup”
Mak terdiam dengan jawaban Abah. Krisis BBM dikampungku selalu menjadi masalah besar bagi keluarga nelayan yang akan melaut. Namun, keadaan yang demikian tak menantang semangat nelayan untuk melaut. Biasanya para nelayan mengunakan dayungnya untuk mengantarkan sampannya ditenggah laut. Itulah harga mati para nelayan untuk menghidupi keluarganya. Abah sudah terdidik sebagai nelayan sejak kecil. Menurut cerita abah, sejak usia 9 tahun abah sudah melaut dengan atok, abah hanya sempat sekolah sampai kelas 3 SD. Karena keluarga Abah termasuk keluarga yang tidak beruntung, maka abah memutuskan untuk putus sekolah dan membantu Atok menjadi nelayan. Abah sering nasehati aku dan adikku agar rajin belajar. Supaya menjadi orang sukses dan tak susah payah jadi nelayan seperti Abah. Kata Abah, biar Abah bersusah payah mencarikan uang untuk kami, tapi kami tidak boleh membuat Abah kecewa. Kesulitan ekonomi sebagai nelayan kecil seperti keluarga kami, kadang kala memang mematahkan semangat untuk belajar. Ingin berhenti sekolah seperti Abah. Agar tak ditagih uang SPP yang sering kali telat. Agar mak tak selalu meminjam uang dengan pak cik Man tetangga kami.Namun, semangat Abah membuat kami membuka mata betapa pentingnya kami sekolah dan belajar. Matahari mulai condong, mak menyiapkan bekal untuk abah melaut. Sementara aku dan adikku Atan membantu mengangkat jaring kesampan.

Cerpen remaja"Abah dan laut"

“Minah , ambik nasinya”! teriak Mak
Aku berlari menuju rumah mengambil rantang yang berisi bekal Abah
“Hati-hati ya bah,” ucapku sambil memberikan bekal Abah tersenyum
Mesin pompong sudah hidup. Tak lama kemudian yang terlihat hanya bayangan abah semakin lecil di tengah laut sana. Memadu bersama gelombang laut, pompong kecil yang terombang ambing dilaut luas, ada doa dan harapan untuk mendapat hasil tangkapan yang banyak untuk dijual dan dijadikan uang. Jam menunjukkan jam 10.15 malam, tapi belum tanda abah pulang. Aku dan mak mulai resah. Atan sudah tidur sejak tadi. Dari kejauhan ada cahaya pelite menuju ke bibir pantai. Namun pelan sekali.
“Itu Abah mungkin Mak”
“Kenapa lambat betul sampainya”
“Sabarlah Mak, Abah pakai dayung mungkin”.
Suasana hening, hanya jangkrik malam yang menyanyikan syair-syair yang tak kupahami maknanya. Namun, bagi ku inilah hiburan alami yang tiap malam ku nikmati. Beberapa waktu kemudian, dari dalam rumah terdengar batuk Abah. Aku dan mak bergegas keluar rumah. Dan benar, abah sudah diluar rumah. Wajah Abah terlihat begitu letih.
“Belum ada rizky hari ini”. Ucapan abah memecah keheningan antara kami, kami pun paham maksud abah.
“Tak apa bang, besok kan melaut lagi”.
“Dayung Abah patah tadi, minyak habis ditengah laut,”. Ucapan abah menjawab pertanyaan dihati kami

Cerpen remaja"Abah dan laut"

mengapa abah pulang lama. Benar, hanya 3 ekor ikan pari kecil yang Abah bawa pulang. Air mata ku menetes tanpa sadar. Karena harapan ku abah membawa ikan banyak dan dijual. Hasilnya akan dibayarkan hutang pak cik man yang menagih hutang lagi tadi sore kini musnah.
“Pak cik Man menagih hutang lagi bang”.
Abah tercengang mendengar ucapan mak, lalu menarik nafas dalam.
“Abah… itu solarnya, tadi Atan beli dikampung sebelah”. Ucap Atan keluar dari kamar sambil menunjukkan dimana dia meletakkan minyak. Lalu kembali dia masuk kekamar.
“Kamu jawab apa tadi odah?” tanya Abah pada Mak
“Odah bilang besok pagi kita bayar hutangnya bang.”
Abah bergegas memakai baju yang biasa dia gunakan untuk melaut. Dan aku yakin abah akan berangkat
melaut lagi. Aku berjalan cepat menuju abah. Ku tahan abah yang sudah menuju tangga.
“Besok saja ya bah”! pinta ku agar abah tidak melaut malam ini.
“Janji itu harus ditepati minah”. Ucap abah sampai batuk-batuk lalu melangkah Suasana Rumah hening lagi. Suara pompong abah pun tidak terdengar lagi. Hanya jangkrik malam yang masih riuh bernyanyi. Menghibur hati kami yang mengharap akan adanya Rizki di tengah lautan yang akan dibawa Abah pulang.

Cerpen remaja"Abah dan laut"

Biodata penulis   : Penulis
Nama                  : Susilawati.
Berasal dari          : kabupaten Bengkalis.
Terlahir dari         : Sawaludin dan Kayati
Pada tanggal        : 2 Juni 1990 di desa Kembung Luar.
Penulis sekarang sedang menjadi Mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Riau
Referensi gambar diambil dari 
http://herry90.multiply.com/photos/album/28/Pelabuhan_Marina_Semarang